Oleh : Naniek Sudaryati Deyang
QUO VADIS PETANI KITA? (Semoga Pak Jokowi membaca tulisan mantan sahabatnya ini)
Gimana petani nggak makin jatuh miskin dan gak bisa nyekolahin anaknya, kalau pendapatan petani sudah nggak ngejar inflasi. Saya kasih gambaran ya, saya bertemu petani yang punya tanah sawah seluas 8 petak atau sekitar 1,1 Ha.
Nah petani itu, tadinya memilih menanam padi karena biar 3 bulan sekali bisa panen. Namun 2 tahun belakangan menanam padi selalu buntung, alias setiap panen dia harus merugi. Meski sudah merugi, dia masih kekeuh nanam lagi di musim berikutnya dengan harapan masih akan ada untungnya.
Ia terus menanam hingga 6 kali musim tanam, dan 6 kali juga selalu merugi. Apa yang terjadi? Utang menumpuk, baik untuk makan sehari-hari maupun untuk menanam padi kembali (padahal menanam padi selalu rugi).
Petani tersebut kalau di desa sebetulnya masuk kelas menengah karena punya tanah warisan 1 Ha lebih. Dan di desa-desa sudah jarang petani punya sawah sampai 1 ha.
Air mata petani itu mengalir, saat bercerita dia masih kuat membiayai anaknya kuliah yang nomer 1 dan 2, tapi untuk anaknya yang ke 3 dan 4 dia sudah tidak kuat lagi.
Mengapa 6 musim tanam padi selalu buntung? Karena petani tadi sudah dua tahun ini tidak dapat beli pupuk subsidi, padahal harga pupuk non subsidi sudah naik di atas 100 persen. Lebih gilanya meski naik harganya 100 persen kadang barangnya langka, kemudian upah buruh tani juga naik karena biaya hidup juga naik, obat -obatan hama juga naik 100 persen, bibit tanaman juga mahal, dan yang sedih pada saat musim kering mau menghidupkan diesel untuk mengairi sawah, mencari solarnya juga langka (sekarang malah harganya naikðŸ˜).
Jadi kalau saya pakai skala 100 persen dalam hal perawatan tanaman padi, berarti dalam 2-3 tahun terakhir ini, petani hanya bisa merawat 25 persen karena keadaan di atas. Akibatnya? Tanaman gampang diserang hama, tidak subur, dan bahkan hasilnya gabus alias kopong. Saat panen petani kadang tidak sampai bisa panen setengah dari target, malah banyak yang zonk.
Saat bertemu saya dua hari lalu, petani ini mengaku sudah tobat dan putus asa menanam padi. Maka akhirnya ia sewakan saja lahannya ke pabrik gula, karena sudah tidak kuat membiayai lagi untuk menanam padi. Meski sewa tanah/lahan dari pabrik gula sendiri hampir 10 tahun terakhir harganya gak berubah yaitu antara 2,2 juta -2,5 juta/tahun ( seusia tebu panen) per petak ( 1400 m2).
Petani tadi lantas bercerita, saat ini dia menyewakan lahan sawahnya sebesar 2,5 juta ke pabrik gula. Sehingga 8 kotak ia terima 20 juta atau kalau dirata-rata ia memperoleh pendapatan 1,6 juta/ bulan. Dengan uang 1,6 juta/bulan, jangankan mengkuliahkan anaknya, untuk makan sehari -hari pun dia ngap-ngapan.
Nah mari kita hitung nilai aset dia, andai tanah 8 petak itu dijual maka dengan rata-rata harga tanah di Jatim 300 juta/petak, maka kalau tanah milik petani tersebut dijual nilainya 2,4 miliar. Bila uang 2,4 miliar itu ditaruh di deposito maka petani itu akan dapat bunga deposito 10 juta/ bulan, dan pasti bisa menyekolah dan mengkuliahkan anaknya.
Nah bayangkan apa gak lama-lama para petani nanti memilih menjual tanahnya pada para cukong / pengusaha besar untuk diubah property atau pabrik? Bagaimana nasib Indonesia? Mungkin dari negara agraris yang di jaman Pak Harto bisa swasembada pangan bahkan ekspor, akan jadi negeri beton yang mengimpor pangan dari negara yang bukan agrarisðŸ˜ðŸ˜.
Nah bapak Presiden, kapan pemerintah punya perhatian lagi pada petani seperti di jaman Pak Harto? Hati -hati Pak kalau petani hidupnya makin terpuruk, kita bisa mengalami krisis pangan.
0 Komentar